Bijak dalam Menilai SMK sebagai Sumber Pengangguran

Bijak dalam Menilai SMK sebagai Sumber Pengangguran

Saya mohon maaf jika tulisan ini menyinggung perasaan adik-adik SMK, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan. Justru tulisan ini untuk merupakan bentuk dukungan kepada adik-adik SMK. Sebelumnya, media cetak menempatkan berita tentang pengangguran SMK sebagai topik yang cukup penting. Berbagai tulisan mengungkapkan banyak hal tentang persoalan tersebut, umumnya adik-adik yang lulusan SMK lah yang menjadi objek. Antara lain menganggap bahwa lulusan SMK tidak kompetitif, tidak sesuai dengan kebutuhan industri, tidak terampil dan lain sebagainya.

 

Kembali ke data

Data BPS per Februari 2016 menyebutkan bahwa persentase pengangguran lulusan SMK terhadap angkatan kerja sebesar 9.82 persen.  Nilai ini paling tinggi dibandingkan lulusan lain.  Jika dibandingkan dengan lulusan SMU yang sebesar 6.96 persen, maka sepintas kesimpulan bahwa lulusan SMK tidak lebih baik dibandingkan SMU terlihat benar.  Mari kita bandingkan persentase angkatan kerja. Ada 78.31 persen angkatan kerja lulusan SMK, sedangkan lulusan SMU hanya 69.58 persen. Artinya, ada begitu banyak lulusan SMU tidak dimasukkan dalam kategori angkatan kerja. Menurut kategori BPS, hal ini dimungkinkan lulusan SMU sedang sekolah, atau sedang mengurus.

Jika kita lebih teliti, maka proporsi lulusan SMU dan SMK yang tidak masuk kategori angkatan kerja dikarenakan ada sebagian yang melanjutkan sekolah (kuliah). Untuk lulusan SMU ada 9 persen melanjutkan pendidikan, sedangkan lulusan SMK hanya 3.98 persen. Artinya, ada kemungkinan lulusan SMU lebih sedikit menganggur dibandingkan SMK, karena kontribusi lulusan yang melanjutkan pendidikan (kuliah), sehingga ia tidak dimasukkan perhitungan disebabkan masuk kategori bukan angkatan kerja.

Berdasarkan data, mari kita buat simulasi, andaikan persentase yang kuliah lulusan SMK sama dengan lulusan SMU, yaitu sebesar 9 persen. Maka diperoleh hasil yang berkebalikan. Yaitu awalnya persentase pengangguran SMK terhadap angkatan kerja sebesar 9.82 persen menjadi 3.65 persen, bandingkan dengan lulusan SMU sebesar 6.96 persen. Artinya, kesimpulan awal berubah. Jika lulusan SMK melanjutkan pendidikan sama peluangnya dengan lulusan SMU, maka sebenarnya angkatan SMU lah yang lebih berkontribusi terhadap pengangguran. Kalau mau dilihat lagi justru lulusan akademi yang paling berkontribusi yaitu sebesar 7.22 persen.

 

Kampus Vokasi

Walaupun itu merupakan data simulasi, namun ada beberapa hal yang perli dicermati. Lulusan SMK sama dengan lulusan SMU, yaitu berada pada rentang umur yang sama. Namun kesempatan untuk melanjutkan studi keduanya jauh berbeda. Data BPS menunjukkan bahwa perbandingan Populasi lulusan SMU dengan SMK sebesar 1.82 kali, atau dengan mudah kira-kira 9:5 atau 64.56 persen berbanding 35.44 persen.  Mohon maaf, sampai tulisan ini diselesaikan, belum ada data tentang perbandingan vokasi dengan non vokasi.

Namun jika dibuat lebih logika vokasi adalah diploma sedangkan yang non vokasi sarjana, maka data BPS 2016 menunjukkan populasi lulusan diploma sebesar 4.242.277, bandingkan dengan sarjana sebanyak 12.690.859. Jika dibandingkan sebesar 2.99 kali. Artinya jauh lebih besar dibandingkan rasio 1.88 kali jumlah lulusan SMU versus SMK.

Artinya, lulusan SMK tidak disiapkan untuk menjangkau lebih tinggi. Program gebyar-gebyar untuk SMK tidak ditindaklanjuti untuk tangga berikutnya. Bahkan nomenklatur vokasi tidak menjadi hal yang dibuat pendataannya baik oleh dikti maupun BPS.

 

Pertanggungjawaban sekolah SMK.

Tuntutan yang berlebihan agar lulusan SMK bekerja sebenarnya tidak pada tempatnya. Mereka harus ditempatkan sesuai dengan tumbuh kembang. Sebagian besar anak-anak kita di usia 18-21 tahun masih belum siap kerja. Lalu, mengapa harus dipersalahkan jika mereka belum bekerja. Kambing hitam lulusan SMK tidak kompeten juga salah alamat. Pada usia tumbuh kembang tersebut, seseorang masih harus ditempatkan sebagai pembelajar kehidupan, belum pembelajaran kekhususan. Baik WHO maupun Depkes masih menempatkan usia 18 tahun sebagai kategori remaja.

Oleh karena itu, tidaklah tepat jika seorang anak SMK diperlakukan secara tidak adil dibandingkan dengan SMU. Pemerintah bahkan sudah terlalu terjebak dengan target angka-angka seperti, pada tahun 2017 SMK mencapai 60 persen dan SMA 40 persen. Terkesan apa yang dipikirkan hanya sebatas asumsi angka-angka semata.

Kesalahan berikutnya adalah lulusan SMK dianggap tidak sesuai dengan industri. Oleh karena itu, maka SMK harus didesain untuk lebih mengutamakan kepentingan industri.  Pemikiran ini merupakan cara berfikir model VOC, yaitu menyiapkan  anak-anak sekolah korban politik etis yang disiapkan jadi pegawai Belanda.

Anak-anak SMK masih begitu bersih dan polos untuk dilibatkan pengarahan kepentingan pekerja. Biarkanlah mereka menikmati sekolahnya, tanpa harus dibebani untuk memuaskan warga industri. Anak SMK masih tetap menjadikan pembelajaran sebagai sesuatu yang ia senangi,  bukan sesuatu yang harus ia pikul. Tanpa pernah memikirkan kampus vokasi dan non vokasi.

Duka nestapa lulusan SMK dapat dilihat keseriusan untuk meghadirkan vokasi. Kampus-kampus PTN yang didorong untuk mewujudkannya juga terkesan gamang, karena hal tersebut di luar kompetensinya. Saat anak-anak SMK dipaksa untuk berorientasi kerja, sebaliknya anak-anak perguruan tinggi yang lebih dewasa dibuai sehingga lupa orientasi kerja. Pemerintah sibuk mendanai kampus penelitian, sibuk membiayai kampus sarjana, tetapi lupa untuk kampus vokasi.  Bahkan, beasiswa pemerintah untuk mahasiswa pasca sarjana.  Di berbagai PTN, biaya kuliah vokasi dengan sarjana jauh berbeda, termasuk bantuan subsidi dan beasiswa.

 

Tetaplah nikmati bersekolah

Untuk adik-adik SMK, jangan hiraukan beban untuk tidak menganggur.  Itu hanya analisis angka-angka yang jauh dengan substansi. Nikmatilah bersekolah, umur kalian adalah umur untuk mengekspresikan diri melalui berbagai hal, salah satunya bersekolah. Kalaupun kalian membuat mobil, buatlah untuk menyenangkan dahaga pengetahuan, tanpa harus memikirkan apakah itu diterima atau tidak oleh kalangan industri, toh kakak-kakak yang ada diperguruan tinggi masih tetap nyaman membuat mobil untuk senang-senang, untuk lomba festival. Kalau harus dituntut, maka kakak kalian lah yang harus berfikir untuk menjadikan karya bagi industri.

Sumber: https://www.kompasiana.com/guntur_saragih/581178413cafbd4a0e92c8b1/bijak-dalam-menilai-smk-sebagai-sumber-pengangguran?page=2