Sarjana Terapan sebagai Solusi Permasalahan Bangsa

Sarjana Terapan sebagai Solusi Permasalahan Bangsa

Jakarta, Ditjen Diksi – Vokasi kini telah menjadi salah satu alternatif pendidikan yang menjanjikan masa depan nan sukses. Hal tersebut tentunya tak lepas dari salah satu visi-misi Presiden RI Joko Widodo, yakni peningkatan sumber daya manusia (SDM).

“Pak Presiden selalu mengatakan bahwa solusi kita masa sekarag dan masa depan adalah vokasi dan terapan. Karenanya, kita harus membuat strategi bagaimana sekolah vokasi menjadi sekolah pilihan yang dapat menyelesaikan banyak persoalan bangsa,” terang Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada webinar “Sukses Masa Depan Melalui Sarjana Terapan” yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso, yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube Tempodotco (30/1).

Budi Karya sendiri turut mengapresiasi upaya pemerintah dengan mendirikan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, harus disiapkan tenaga kerja yang siap di lapangan, yang tidak hanya mengenal teori. “Ini adalah upaya yang konkret dan baik,” ujarnya.

Budi Karya pun mencontohkan bahwa di negara-negera maju pendidikan terapan amat dibutuhkan. “Dengan sekolah vokasi yang banyak terdapat di sana, terbukti mereka bekerja di industri yang tepat,” ujarnya.

Budi Karya menyebutkan, Kementerian Perhubungan memiliki lebih dari 20 sekolah vokasi yang turut menghasilkan banyak tenaga di sektor kelautan hingga ke luar negeri. “Kerja sama pun kami lakukan dengan Australia dengan memberikan kesempatan kepada pengajar untuk belajar di sana, sehingga SDM kita dapat bekerja di seluruh dunia hingga menghasilkan devisa,” tuturnya.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto juga turut memaparkan pentingnya lulusan pendidikan yang harsu sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan industri. “Jadi, kita harus ‘memasak’ apa yang menjadi kebutuhan industri,” tegasnya.

Baik akademik maupun vokasi, tambah Wikan, adalah jalur pendidikan yang sama bagusnya, asalkan cocok dengan passion atau bakat. Passion dari awal pendidikan ini amat dibutuhkan untuk menciptakan lulusan yang kompeten (hard skills, soft skills, dan karakter). “Bakat kita adalah mencari ilmu yang cocok yang membuat kita bergairah. Maka, kita akan mengembangkan diri secara terus-menerus tanpa paksaan sehingga menjadi pembelajar mandiri sepanjang hayat,” tuturnya.

Mengapa harus sarjana terapan? Wikan menjelaskan, pendidikan ini dirancang agar “link and super-match” dengan dunia kerja dan industri melalui jalur SMK hingga S3 terapan. Adapun salah satu konsep yang kini tengah dijalankan adalah ugrading D3 menjadi D4 atau sarjana terapan. “Ini untuk memenuhi kebutuhan supervisor yang bersifat aplikatif, serta menciptakan entrepreneurs,” tegasnya sembari menambahkan yang nantinya mengisi posisi mechanical adalah D2 yang akan diperbanyak melalui SMK jalur cepat.

Wikan pun menjelaskan syarat yang dilakukan pendidikan vokasi tersebut, yakni “link and match” dengan paket 8+1 yang bukan sekadar tanda tangan Mou. Di antaranya mulai dari sinkronisasi kurikulum, pengembangan soft skills dengan project base learning, pengajar dari industri, magang minimal satu semester, sertifikasi kompetensi, pengajar belajar di industri, membuat produk yang dihilirkan ke pasar, hingga komitmen penyerapan tenaga kerja oleh industri. Alhasil, “Kita tidak akan biarkan D4 berdiri dengan menu seadanya,” terangnya.

Masih Banyak Salah Persepsi

Sementara itu founder Sekolah.mu Najelaa Shihab turut berbagi cerita, semisal masih banyaknya persepsi yang salah tentang pendidikan vokasi. “Banyak yang menganggap sekolah dan politeknik kurang bergengsi. Padahal, kenyataannya tidak demikian,” ujarnya.

Selain persoalan di atas, tambah Najelaa, masih terdapat juga pengajar vokasi yang belum dapat menyeimbangkan kurikulum di sekolah yang harsu disesuaikan dengan kebutuhan industri. “Ingin muridnya banyak yang magang, tapi masih banyak materi yang juga harus disampaikan,” tuturnya.

Meski demikian, Najelaa mengaku optimistis bahwa pendidikan vokasi inilah yang akan membuat negara maju karena mengaitkan secara langsung pendidikan dengan dunia kerja dan industri. Karenanya, “Pendidikan harus menjadi jembatan untuk masa depan,” tegasnya.

Adapun Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Prof. Asep Saefuddin menambahkan, sarjana terapan dapat menjadi solusi menghadapi revolusi industri 4.0 dengan bekal pendidikan soft skills dan hard skills di dalamnya. Senada dengan Dirjen Wikan, “Tidak hanya teori, doing-nya harus jalan,” ujarnya.

Menurut Asep, pendidikan vokasi memiliki kelebihan yang mencakup banyaknya kegiatan praktik, case base learning, creative-proactive learning, banyak kunjungan ke pabrik, banyak workshop, simulasi leadership, transdisiplin, entrepreneurship project, magang bersertifikat, dan agle learning. Alhasil, “Untuk mengisi era revolusi industri 4.0, maka saya yakin pendidikan yang diperlukan adalah menghasilkan sarjana terapan yang dikelola secara profesional,” tuturnya.

Sementara itu sebagai perwakilan industri, VP of Marketing JNE Eri Palgunadi mengatakan bahwa pihaknya amat membutuhkan banyak tenaga lulusan pendidikan vokasi. Eri berkisah, dari sekitar 2.000-an karyawan pada 2007 kini JNE memiliki sekitar 20 ribuan karyawan, dan menjadi 50 ribu bila ditambah dengan para mitranya.

Pada 2007 juga perusahaan mulai mengubah pencarian tenaga kerja yang memiliki soft skills yang baik. Bukan hanya mencari tenaga kerja luusan pendidikan vokasi yang memiliki networking yang baik, perusahaan juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan. “Ini membantu kami mengarahkan SDM yang memiliki potensi dan bisa dikembangkan menjadi sarjana melalui program JNE Muda,” terang Eri.

Karena kebutuhan SDM di bidang logistik amatlah besar, Eri mengaku bahwa pihaknya juga bekerja sama dengan SMK. “Kalau proses pekerjaannya di SMK bagus, soft skills-nya bagus, lebih baik kita mengambil tenaga vokasi kemudian disekolahkan dalam kurikulum internal,” ujarnya.

Bak gayung bersambut, Dirjen Wikan pun mengusulkan agar JNE dapat bekerja sama memasukkan kurikulumnya dalam satuan pendidikan vokasi. “Sehingga, sejak awal sebaiknya satuan pendidikan vokasi dengan industri bersama-sama membuat kurikulum,” pungkasnya. (Diksi/AP)